The Time of Aeneas and other poems
by Mario Lawi

Translated from Indonesian into English by Sebastian Partogi


 

Waktu Aeneas 

 

Si penyair menyanyikan, 

Dalam heksameter ketiganya, 

Kisah seorang buangan 

Terasing di lautan, 

Terancam selalu, kehilangan 

 

Kampung halaman, ayah, istri, 

Dan orang-orang terkasih. 

Kita sangsi: pernahkah Martialis 

Menulis epik, pernahkah syrma 

Dan cothurnus yang menggerakkan 

 

Para penonton lahir dari ujung 

Penanya? Benarkah Tucca adalah 

Duri dalam daging popularitasnya? 

Tetapi ia bersaksi, sang pendahulu 

Adalah agung, tertinggi, 

 

Tak terlampaui. 

Kita bergerak ke masa depan untuk 

Mencari jejak masa lalu, seperti 

Orang-orang yang meluncur ke 

Ruang angkasa, mencari tahu rahasia 

 

Semesta dan asal-usul kehidupan. 

Ilium yang porak poranda karena seekor 

Kuda mengandung prajurit-prajurit musuh 

Adalah arena pertama penguji kesalehan. 

“Di manakah istrimu?” kita dengar 

 

Gema suara Venus, berdiri menantangnya 

Di celah sempit seperempat-Odysseia. 

Di celah itulah angin pertama 

Menghantam pelayaran putra Ankhises, 

Dengan pertanyaan yang lebih menikam 

 

Dari dendam Iuno setelah api berkobar 

Di unggunan Kartago. 

“Dia di sini, tetapi tak bisa kurengkuh,” 

Kita dengar jawaban, lebih mirip pengakuan. 

Ada yang luput kita dengar, karena 

 

Disamarkan si penyair, bisik kecil 

Setelah permintaan untuk mencintai 

Sang putra, “Masihkah obor kita 

Bercahaya dalam ingatanmu?” 

The Time of Aeneas 

 

When the poet sang, 

In third hexameter, 

The story of an exile 

Astray at sea, 

In the threat of losing 

 

His hometown, his father, wife, 

And loved ones. 

We were doubtful: had Martialis ever 

Written an epic, was syrma 

And cothurnus who moved 

 

The audience born from the tip of his 

Pen? Was it true Tucca was 

a Thorn in the flesh of his fame? 

Yet he testified, his predecessor 

Was great, the highest, 

 

Beyond transcendence. 

We moved toward the future to 

Find traces of our past, just like 

Those who launched themselves into 

The outer space, to comprehend the secret 

 

Of the Universe and the origins of life. 

Ilium who was ruined by 

a Horse that harboured the soldiers of the enemy 

Was the first test of godliness. 

“Where is your wife?” we heard 

 

The voice of Venus echoed, standing in defiance 

On the narrow quarter gap-Odysseus. 

On the gap where the first wind 

Thrashed the sail of Anchises’ son, 

With a question that pierced much more 

 

Than the fire of Iuno’s vengeance 

On the bonfire of Cartago. 

“She is here, yet I cannot embrace her,” 

We heard his reply, his confession. 

Something escaped our ears, because 

 

It was disguised by the poet, a tiny whisper 

After his request to love 

The Son, “Does our torch still 

burn brightly in your memory?” 

 

 

Variasi Kreusa 

 

Seandainya aku jadi hiasan rumah-rumah Myrmidon 

Dan Dolopia, atau budak bagi para perempuan Yunani, 

Sedangkan Hesperia telah menawanmu dengan kemakmuran, 

Seorang ratu dan kerajaan yang damai, dan aliran Tiber 

 

Menumbuhkan semua yang dibutuhkan oleh Ilium baru, 

Menyesalkah kau telah membiarkan aku tertinggal di 

Belakang, sebagai umpan bagi anjing-anjing Yunani? 

Variation on a theme: Creusa 

 

If I turned into the ornaments in Myrmidon’s house 

And that of Dolopia, or a slave of the Greek women, 

While Hesperia holds you hostage with prosperity, 

A queen and a peaceful kingdom, and the flowing Tiber 

 

Nurturing everything the new Ilium requires, 

Will you regret leaving me 

Behind, a bait for their hounds? 

 

 

 Nubuat 

 

Aeneis VI 

Aku tanya: 

Mengapa kau menangis? 

Mengapa kau takut? 

Kau bilang: 

 

Badai akan membawa fitnah, 

Kita akan binasa, 

Dan waktu 

Akan menghapus ingatan. 

Prophecy 

 

Aeneis VI 

I asked: 

Why are you crying? 

Why are you afraid? 

You said: 

 

The storm will bring tribulations, 

All of us will be annihilated, 

And time 

Will erase all memory. 

 

Mario F. Lawi is a translator and writer. He is involved in Dusun Flobamora Literary Community, Kupang. He is the translation section editor of bacapetra.co, a literary site based in East Nusa Tenggara. His poetry books are, among others, Ekaristi (2014), selected as 2014 Best Poetry Book by Tempo Magazine, Lelaki Bukan Malaikat (2015), and Keledai yang Mulia (2019). His published translated books from Latin are, among others, 60 Epigram tentang Puisi dan Penyair (60 Epigrams on Poetry and the Poets) by Martial, Ecloga I by Vergil, Pervigilium Veneris, and Medicamina by Ovid.

Thank you to Sebastian Partogi for translating Mario’s poety.