Someone With My Name

By Hadiwinata
Translated from Indonesian to English by Ian Rowland

 

Is it true that ‘Life is beautiful, and that’s all there is’? These are the fine words of a young writer, Dea. I'm not sure it’s as beautiful as she says. Think about the guy who’s been hawking vegetables around your neighbourhood for the last two weeks, whose tempeh and bean curd prices you haggle down. He never used to be there, did he? He used to work for a company before being kicked out due to the pandemic. Or the young guys who every day complain that they need a job, but all they do is hang out at the coffee shop at the end of the alley. Or your life, always worried about the future and jolted awake by bad dreams. Or my own life, cheated on four times and passed by for marriage.

S-a-p-a-r-d-i. I typed into the Facebook search bar. One word, seven letters, no last name. That’s my name. A crappy, old-fashioned name, right? As bad as the fate of its owner – me. I wanted to see the life of someone who had the same name as me. Maybe it’d be there, on social media.

It turned out that not only was it there, but there were many people called Sapardi. Sapardi Sukoco, Sapardi Hamid, Sapardi Kamto…but I was looking for Sapardi on its own, no frills. I scrolled until I found two without last names. One lived on a distant island. The other lived in P., the next town, about two hours from me. I wrote the address on a piece of paper and carefully stored it away.

Today I drove my old car, bought seven years ago, to see what kind of life that other Sapardi had. Happy? Lucky? I myself don’t enjoy the best of fortune, and perhaps look older than my years because I was unlucky in love. This other Sapardi is an old man, sixty-three. But amazingly he still uses social media. I saw his Facebook account was most recently active last Thursday.

I wasn’t racing to get there. Rubber and oil palm plantations stretched to the horizon on the right and left, one after the other as if taking turns to be the number one commodity.

‘Do you know this guy?’ I asked a kid, showing him a picture of old Sapardi.

‘Oh, him. The house is down there.’

I went on, following the boy's instructions. At the end of the road I saw a small house with a food stall in front.

As I got to the front of the house, a Kijang car stopped right behind me. A man I guessed to be in his 20s got out and went straight in.

‘We’re ready to go!’

I got out of the car and met an old, thin man with a dark complexion, who I guessed was Sapardi. Behind him were three women and a man (I suppose they were his children).

‘Can I help?’ asked the man.

‘I need to buy some sugar.’

A teenage boy appeared from the house and asked if it was I that wanted sugar. When I nodded he went back inside to fetch it.

‘Was that Sapardi just now?’ I asked when the boy gave me what I’d asked for. Inside the house I saw an old woman sitting in a wheelchair.

‘Sure. Do you know him?’

I lied and said I’d met him many years before. Then I said goodbye and started following the Kijang. I intended to spend the day observing this old man’s life. I was going to follow him.

I sped up so I wouldn’t lose the green car. Luckily, I spotted it as it was about to cross a junction.

The car turned right towards the provincial capital. I wondered where they were going. To a wedding? Visiting someone in hospital? Shopping? Just going for an outing? But if they were going for an outing why didn’t they bring the old woman, who I guessed was Sapardi's wife, and the youngest child?

I drove for a long time. Village after village came and went on the roadside. I kept three metres between me and the Kijang so they wouldn't get suspicious that they were being followed.

But I hadn’t guessed correctly. Sapardi and his children went instead to a weather-beaten house. I pulled up a little way back to surreptitiously watched them.

I got out of the car as I couldn’t see them from that far away, creeping through some scrubby undergrowth. A scrawny old woman in a black headscarf was crying. I couldn’t hear what was going on, but I sensed something was making Sapardi and his children uptight.

I dropped my face as they left the house, after saying their goodbyes. I immediately followed on behind.

They went to the police station, which was strange. But what for? Why did they need to go there?

I also went in, so I could find out what old Sapardi wanted. Hanging back, I saw Sapardi and his children go to the cells, where they squatted down and talked to a man in his 30s through the bars.

‘Why the hell did you do it, son?’ said Sapardi quietly.

The man behind the bars wept, the tears falling unchecked.

‘I searched for you everywhere, asked everybody I could. But no-one could help. I had just wanted to meet my real father,’ said the man through the bars. ‘For decades I’ve been searching. Now, when we finally meet, it’s in these circumstances...’

I didn’t really understand what had happened. If I pieced together what I knew, the man was Sapardi's biological son. Meanwhile, the thin woman in the black headscarf was the wife he had long since abandoned.

‘You have two kids! How could you even think about taking something illegal like that?’ snapped a woman, Sapardi's daughter.

‘That’s enough. What’s done is done...’

I needed to get out of there. I didn’t want the family to see me. They must have been suspicious.

I drove home through the dusk. Cars and motorbikes seemed to be driving slowly. Or was I just tired? It turned out that life isn’t as beautiful as Dea said. And my own life didn’t seem any worse than that of old Sapardi, or anyone else, for that matter.


Menengok Hidup Seorang yang Bernama Sama Denganku

Apakah benar bahwa hidup ini begitu indah dan hanya itu yang kita punya? Kalimat ciamik tersebut karangan seorang penulis muda bernama Dea. Tetapi aku tak yakin jika hidup kita seindah kalimat tersebut. Coba kau lihat tukang sayur yang dua minggu ini masuk ke komplekmu, yang tempe serta tahunya kau tawar. Sebelumnya ia tidak pernah datang, bukan? Ia dulu bekerja di satu perusahaan sebelum didepak keluar karena pandemi. Atau pemuda-pemuda yang di saban hari mengeluh menginginkan pekerjaan tetapi yang dilakukannya hanyalah menongkrong di kedai kopi di ujung gang. Atau kehidupanmu sendiri yang senantiasa merasa cemas akan masa depan dan kerap terjaga di malam hari karena mimpi buruk. Atau kehidupanku yang empat kali telah diselingkuhi sampai ditinggal kawin.

S-a-p-a-r-d-i. Begitulah aku mengetik pada kolom pencarian Facebook. Hanya satu kata, tujuh huruf, tanpa nama belakang. Demikian pulalah namaku. Nama yang kuno dan buruk bukan? Seburuk nasib orangnya—aku sendiri. Aku ingin menengok kehidupan seorang yang memiliki nama yang sama denganku. Barangkali ada di media sosail?

           Ternyata tidak hanya ada, tetapi terdapat banyak sekali orang yang mempunyai nama Sapardi. Ada yang namanya Sapardi Sukoco, Sapardi Hamid, Sapardi Kamto, … Hanya saja aku mencari Sapardi tok, tanpa embel-embel. Aku menggulir tikus kecil digenggamanku ke bawah, sampai aku menemukan dua orang Sapardi tanpa nama belakang. Seorang tinggal di sebuah pulau yang jauh. Sementara yang lain tinggal di kota sebelah, kota P. Jaraknya barang dua jam dari tempat tinggalku. Aku mencatat alamat orang itu pada sebuah kertas lalu menyimpannya dengan rapi.

           Hari ini aku berkendara dengan mobil tuaku yang kubeli tujuh tahun silam. Aku ingin melihat kehidupan macam apa yang dimiliki oleh orang itu, seorang yang bernama Sapardi pula. Apakah hidupnya bahagia? Apakah ia seorang yang beruntung? Sementara aku seorang yang malang, dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya karena terpuruk oleh cinta? Sapardi yang satu ini adalah seorang lelaki tua. Usianya sudah enam puluh tiga tahun. Tetapi ajaibnya ia masih menggunakan media sosial. Aku melihat akun Facebooknya aktif terakhir kali pada Kamis pekan lalu.

           Aku melaju dengan kecepatan sedang. Di kanan-kiri ada perkebunan karet dan sawit menghampar seluas-luasnya, berganti-gantian, seolah saling susul-menyusul untuk menjadi komoditas perkebunan nomor wahid.

           “Kenal tidak sama bapak ini?” tanyaku kepada seorang remaja lelaki seraya menunjukkan potret Sapardi tua.

           “Oh, bapak ini. Rumahnya di ujung sana!”

           Aku melanjutkan perjalanan mengikuti petunjuk anak itu. Di ujung jalan aku melihat sebuah rumah kecil dengan warung sembako di depannya.

           Ketika aku sampai di depan rumah itu, ada satu mobil kijang yang berhenti tepat di belakangku. Seorang lelaki yang kutaksir berusia 20 puluh tahunan keluar dari mobil kijang tersebut dan langsung mendatangi rumah Sapardi.

           “Pak, mari berangkat kalau sudah siap!”

           Aku turun dari mobil dan berpapasan dengan lelaki tua, berkulit hitam, berbadan kerempeng yang kuduga Sapardi. Di belakangnya ada tiga orang perempuan dan satu lelaki (kutebak itu adalah anak-anaknya).

           “Ada apa, Kak?” tanya lelaki itu.

           “Saya mau beli gula!”

           Seorang lelaki remaja seketika keluar dari dalam rumah. Ia bertanya kepadaku apakah aku mau membeli gula? Aku mengangguk dan ia segera mengambilkannya.

           “Apakah yang tadi itu Pak Sapardi?” tanyaku saat bocah itu memberikan pesanan. Di dalam rumah aku melihat seorang perempuan tua duduk di atas kursi roda.

           “Betul. Kamu kenal?”

           Aku menjawab kalau aku pernah berjumpa dengannya bertahun silam. Itu jelas satu kebohongan. Kemudian aku pamit dan langsung mengejar kijang itu. Aku bakal meluangkan satu hari penuh untuk menengok hidup lelaki tua ini. Aku akan membuntutinya!

           Aku menekan gas mobilku agar tak ketinggalan oleh mobil kijang berwarna hijau itu. Akan tetapi syukurlah. Aku menemukannya di depan simpang dan hendak menyeberang.

           Mobil kijang itu berbelok ke kanan, ke arah kota Provinsi. Aku mengira-ngira mau pergi ke mana rombongan ini. Apakah ke pesta pernikahan? Menjenguk orang sakit? Berbelanja? Atau sekadar jalan-jalan? Tetapi jika mereka mau pergi jalan-jalan, mengapa perempuan tua yang kuyakini sebagai istri pak Sapardi dan anak bungsunya tak diajak?

           Lama aku berkendara. Melewati kampung demi kampung yang datang dan pergi di tepian jalan. Aku memberi jarak barang tiga meter di belakang mobil kijang itu supaya mereka tak sadar kalau ada yang tengah mengikuti.

           Namun, ternyata semua prasangkaku salah. Pak Sapardi dan anak-anaknya hanya pergi ke satu rumah reyot. Aku berhenti agak jauh di belakang dan mengamati mereka secara diam-diam.

           Aku keluar dari mobil. Aku tak bisa melihat mereka dari sana. Kemudian aku masuk ke dalam semak dan mengendap-endap. Aku melihat ada seorang perempuan tua kerempeng bertudung hitam sedang menangis. Tentu saja aku tak dapat mendengar apa pun. Tetapi aku tahu bahwa di sana ada persoalan sehingga pak Sapardi dan anak-anaknya terlihat tegang.

           Aku langsung menunduk tatkala pak Sapardi dan rombongannya keluar rumah. Mereka berpamitan. Selepas mereka pergi aku segera mengejar.

           Rombongan itu pergi ke kantor polisi. Ya, kantor polisi! Aneh sekali. Tetapi untuk apa? Apa yang akan mereka lakukan di sini?

           Aku turut masuk ke dalam tempat itu supaya aku tahu betul apa yang dilakukan Sapardi tua di kantor ini. Dari bagian belakang mereka aku melihat ternyata pak Sapardi dan anak-anaknya pergi ke penjara kantor polisi itu. Aku melihat bahwa mereka berjongkok. Mereka berbicara dengan seorang lelaki di balik jeruji—kutaksir usianya lebih dari 30 tahun.

           “Kenapa kamu sampai berbuat seperti ini, Nak?” Ujar Sapardi pelan.

           Sang lelaki di balik jeruji menangis. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.

           “Aku mencari ayah ke mana-mana, bertanya ke banyak orang. Tetapi tak ada yang mau membantu. Padahal aku sangat ingin bertemu ayah kandungku sendiri.” jawab sang lelaki dari balik jeruji. “Puluhan tahun aku mencari. Sekarang, ketika kita bisa berjumpa, keadaan malah seperti ini…”

           Aku tak begitu paham apa yang terjadi. Hanya saja jika kucoba menyatukan semua fakta yang kuketahui: lelaki itu adalah anak kandung pak Saparti. Sementara perempuan tua bertubuh ceking dan bertudung hitam tadi ialah istrinya yang telah lama ia tinggalkan.

           “Kau kan sudah punya dua anak! Bagaimana bisa kau masih berani mengisap barang haram seperti itu?” Bentak seorang perempuan, anak Sapardi.

           “Sudahlah, Kak. Semua sudah terjadi…”

           Kupikir aku harus cepat pergi dari sini. Aku tidak mau kalau sampai keluarga itu melihat bahwa aku ada di sini juga. Mereka pasti curiga.

           Aku berkendara pulang ke rumahku. Hari sudah redup. Mobil-mobil dan motor-motor seolah melaju dengan lesu. Atau justru diriku sendiri yang keletihan? Ternyata hidup ini memang tak seindah kata-kata penulis Dea. Sementara hidupku sendiri sepertinya tidak lebih malang pula ketimbang hidup Sapardi tua, dan orang-orang lain agaknya.

Hadiwinata is from Palembang, Indonesia. He placed fourth in the Tulis.me National Short Story Competition, for ‘How Should I Call You?’. He has published poetry and short stories in 11 collections. His novella, ‘A Keepsake for Mother’, was published by Aksara Aurora in 2016 and in 2020, his poetry collection ‘Along The Road of Tears’ was published by Kabisat Publishers and was based on his time as a migrant worker.

Ian Rowland has most recently had published translations of the poetry of Erna Alidjai in chogwa zine, and a short story by Pratiwi Juliani in B O D Y literary journal.