When I’m No Longer Loved
by You and other poems

by Andre Septiawan

Translated from Indonesian into English by Sebastian Partogi


 

Ketika aku tak lagi kau cintai 

 

Ketika aku tak lagi kau cintai 

Laut di Teluk Bayur menguap 

Kapal-kapal dagang gagal merapat, yang tertambat urung berangkat 

Demonstrasi tukang panggul kian marak 

Sumpah serapah berceceran dari mulut para awak 

“Pantek! Jancuk! Pukimak!” 

Pelabuhan jadi tengkak, pajak jadi mangkrak 

 

Dan karenanya Jakarta kekurangan kayu manis, santan kelapa hitam hangus, lada dan bawang yang diimpor sejauh Alahan Panjang busuk di darat, beras Solok tanak berderai, rumah makan Padang hentikan produksi gulai, rendang tak lagi terjerang, tak terhidang lagi menu apapun di etalase pajang, turis-turis litak tak sempat terkenyangkan, pariwisata mendemam, negara pun defisit anggaran. 

 

Lantas akan jadi apa ibukota 

tanpa harum rendang dan aroma cinta kita? 

 


Pariaman, 2021 

When You No Longer Love Me 

 

When you no longer love me 

The sea on the Bayur bay will evaporate 

The trade ships will fail to arrive, the anchored ships will not sail 

The coolies will fill the streets with protest 

The crew will spit their curses 

“Pantek! Jancuk! Pukimak!” 

The ports will collapse, the tax will be tossed 

 

And because of this, Jakarta will run out of cinnamon, charred black coconut milk, peppers, and onions from the far lands of Alahan Panjang will decay at shore, rice from Solok will fall into pieces, Padang restaurants will not cook curry, rendang will not be boiled, there are no longer feasts behind glass windows, tourists will not satisfy their hunger, tourism will reach a fever pitch, the nation’s economy will collapse. 

 

And what will the capital city be without the sweet smell of our rendang 

the aroma of our love? 

 

Pariaman, 2021 

 

 

Antar Kota Antara Kita 

 

Telah sampai pula padaku 

kabar kau yang naik angkutan menjuru trayek baru, 

menuju kota paling bergaya di sudut sebuah peta 

yang semakin kecil skala bandingannya; itu berarti petaka! 

Aku tahu, memang telah lengang simpang jalan menuju kotaku yang bengkalai. 

 

Paving trotoar yang dulu ramai kini diobral di meja gadai. 

Tiang-tiang lampu telah jadi tua, 

jadi lapuk, 

jadi bungkuk, 

jadi santap malam nasib buruk. 

 

Matahari buta dan toko-toko obat beraksara Cina telah bertukar baliho apotek yang dicetak dalam huruf Braille di depan kantor walikota lama. 

Taman kota digusur jadi losmen tempat jin buang anak. 

Orang-orang kembali menunggang angin jinak. 

Halte tempat kita baku-temu itu kini berganti kedai ciu dan arak. 

Memang tak banyak pilihan tersisa; 

 

Memang tak ada, 

kau pun hilang selera dan membanting stir ke tanah Jawa! 

Dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun 

Aku setia menanti kau maujud sehabis siuman mabuk opium 

Namun sampai berpuluh kali kalender diganti, 

 

aku tinggallah kerak bandel di pantat kuali 

Hingga di suatu tahun kabisat kau kirimkan sebuah pesan singkat, 

bertajuk salah alamat, 

“Bandung bagiku hanyalah Bukittinggi yang pindah koordinat, 

Dengan garis lintang yang terlonsong ke selatan, 

Dengan garis bujur yang tersorong ke timur.” 

Aduhai, sudahlah hidup bagai orang tengah mati 

Cinta bertahun tak menjadi 

 

Bandung-Pariaman, 2018-2021 

The City Between Us 

 

The news has finally reached me 

you took the bus towards a new trajectory, 

to the most stylish city on the outer margins of the map 

the smaller the scale; the bigger the disaster! 

I know, it is quiet in the road to my abandoned city. 

 

The crowded paved road is now on display at the pawn shop. 

The streetlight has aged, 

collapsed, 

slouched, 

cursed with fate. 

 

The blinding sun and the drugstores with Chinese letters have been replaced with the Braille banners of pharmacies across from the former mayor’s office. 

The city garden has been razed to build a guest house for djinns

People have once again left with the wind. 

The terminal where we would meet has transformed into a liquor shop. 

It’s true. There are not a lot of choices; 

 

It’s true. There is nothing left. 

Even you have lost a taste for our city and detoured to Java! 

Day after day, month after month, year after year 

Faithfully, I wait for you to recover from the intoxicating spell of opium 

And still, even after dozens of calendar years, 

 

I’m nothing more but the cracked surface of a cauldron 

Until one leap year, when you sent me a message, 

with the subject: wrong address, 

“For me, Bandung is Bukittinggi. It has merely moved coordinates, 

A horizontal line losing its way towards the south, 

 

A longitudinal line sliding towards the east.” 

Aduhai, haven’t we had enough of a life half-lived 

of years of love, unfulfilled 

 

Bandung-Pariaman, 2018-2021 

 

 

Hari-hari Dalam Seminggu 

 

Kuingat lagi hari-hari bala 

Serupa gaung trauma kerja paksa di zaman Romusha. 

Pada ingatan miris perihal ayahku yang berangkat shalat jumat di hari kamis 

 

berjaket Levi’s, bercelana gamis. 

Tentang ibuku yang membenci hari sabtu, 

tetapi selalu ingin kembali jatuh cinta setiap kali malam minggu. 

Perkara sepasang adikku yang gencar mengancam tuhan, 

agar menurunkan firman khusus menetapkan hari senin sebagai hari libur nasional. 

 

Juga tentang aku yang tak pernah tahu, 

bahwa di hari rabu di hari ulang tahunmu adalah hari yang sama di hari hilang tahunku. 

Itulah, seperti halnya sejarah gedebok pisang tua, 

bukankah tak pernah ada yang peduli pada prakiran kiamat di hari selasa? 

Ya tuhan, jika hari penghabisan dan penghisaban itu tiba 

dapatkah sekiranya kami sekeluarga masuk surga 

sekalipun tak punya kenalan orang dalam diatas sana? 

 

Pariaman, 2021 

Every Day of the Week 

 

I remember the cursed days 

The echoing trauma of labor in the Romusha era. 

The melancholy memory of my father heading to Friday prayer on a Thursday 

 

his Levi’s jacket, gamis pants. 

My mother who despised Saturdays, 

but longed to fall in love in the evening. 

My siblings who held God in contempt, 

so that he would command Mondays as a national holiday. 

 

And how I never knew, 

that your birthday fell on the same Wednesday as mine. 

This is why, as with the case of history, 

isn’t it true that no one cares about doomsday prophecies that fall on every Tuesday? 

Dear God, if this is the end of days, if the day of reckoning arrives,  

will you let our family into paradise  

 

even if we are but strangers to the souls up there? 

 

Pariaman, 2021 

 

Andre Septiawan was born in 1995 in Pariaman, West Sumatera. He writes poems and short stories. His first book, entitled Suara Murai was published by Comma Books/KPG in 2018.

Thank you to Sebastian Partogi for translating Andre’s poety.