Ten Petty Tyrants from Ten
Harbors and other poems

by Deddy Arsya

Translated from Indonesian into English by Sebastian Partogi


 

Sepuluh Raja Kecil  dari Sepuluh Bandar 

 

Sepuluh raja kecil dari sepuluh bandar kecil 

telah diangkut ke kastil nun di utara Jawa 

yacht-yacht berlayar 

menepi-nepi samudra 

ombak lagi gila-menggila 

angin barat mengamuk ke darat 

sepuluh raja kecil dari sepuluh bandar kecil 

bukit-bukitnya baris-berbaris memunggungi laut  

mereka dilayarkan ke Batavia  

untuk membubuhui traktat 

dengan cap beraksara Arab 

di bawah kitab suci 

: memberi hak monopoli lada  

untuk Kompeni semata 

di semua bandar mereka;  

membebaskan segala bea; dan 

sebuah loji kecil dibangun di selatan  

di pintu gerbang sepuluh bandar 

yang dikuasai sepuluh raja kecil 

dengan suara titah tak lebih keras  

dari gedebum jatuh buah kelapa 

mereka menyetujui pembangunan  

benteng dan gudang lada di situ 

mereka membawa sendiri lada mereka ke sana 

mereka membawanya dengan perahu-perahu kecil  

yang ditambatkan di dermaga yang tak kalah kecil 

dermaga yang dibangun dari susunan batu endesit  

dengan imbalan serdadu dan senjata dalam yacht-yacht  

istana-istana yang memiliki menara dan makanan berlimpah  

di mana-mana di tanah berbukit-bukit dan di tanah yang datar  

tidak ada apa-apa selain perkebunan lada  

dulu kakekbuyutku 

memulai perang 

merobak-robek traktat 

membakar sulur  

di pantat meriam  

pada akhir malam 

tapi kini aku takut  

pada setiap penguasa 

dan tak berani bicara 

mereka membakari pohon lada 

dan menggantinya dengan kapas 

mereka bikin benteng  

mula-mula dengan ruyung 

lalu yacht-yacht datang lagi 

menurunkan gergasi 

dengan gada dari baja 

keturunannya yang ke sekian dari garis ranji,  

menziarahi makam kakekbuyutku di situ 

di pantai sebelah selatan  

tempat sepuluh raja kecil 

menguasai sepuluh bandar  

yang terkuat di antara mereka 

membangun istana dari  

cangkang-cangkang tiram  

tersadai pada muara sungai  

terlindung dari amuk badai  

armada darat mereka diisi barisan tentara-tentara  

dengan kendaraan tempur gajah yang diberi tunik  

mereka berperang beberapa kali dengan Kompeni 

setengahnya digantung di pinggir loji, yang lain  

terantai dibuang 

ke pulau lain 

yang lain mati 

tanpa disebut-sebut lagi. 

Ten Petty Tyrants from Ten Harbors 

Ten small kings from ten small harbors 

has been carried to a castle over north of Java 

the yachts sailed 

on the margins of the ocean 

the waves in madness 

the furious western wind towards the land 

ten small kings from ten small harbors 

the hills in a row with their backs to the ocean 

they were sailed to Batavia 

to sign a treaty 

with a stamp in Arabic 

an oath by the Koran 

: granting monopoly to pepper 

for the Company 

in all their harbors; 

without tax; and 

a giant factory was built in the south 

at the gate of the ten harbors 

controlled by ten small kings 

whose commands are frailer 

than the thudding of a falling coconut 

they agreed on the construction 

of a fort and a pepper factory 

they transported their own pepper 

they transported it with small boats 

anchored in a harbor which was just as small 

a harbor built with a stack of andesite rocks 

and received soldiers and weapons in yachts 

the palaces bore towers and feasts 

in hilly soils and in flat lands 

nothing but pepper plantations 

a long time ago my great-grandfather 

started a war 

tearing treaty documents 

burning fuses 

on the arse end of a cannonball 

in the dead of the night 

but now I am afraid 

of each ruler 

and have no courage to speak up 

they were burning the pepper trees 

and replaced them with cotton 

they created forts 

in the beginning the used hardwood coconut 

then more yachts started to appear 

unloading giants 

with sledgehammers made of steel 

their descendants, of whichever on the inheritance line, 

took pilgrimage on my great-grandfather’s grave 

on the southern coast 

where ten small kings 

presided over ten harbors 

the strongest among them 

constructed a palace from 

oyster shells 

high on the river’s estuary 

sheltered from the rage of the storm 

a line of soldiers in their land fleet 

with elephants in tunic for their battle vehicles 

they warred the Kompeni several times 

half of them hung on the sideline of the factory, the others 

chained, thrown 

to a different island 

the others died 

without mentioned ever again. 

 

 

Ladang-ladang Kapas Kolam-kolam Garam  

 

Bukit-bukit penuh ladang kapas  

dan kolam-kolam garam di hilirnya 

arah ke muara  

berdebur ombak keras 

di panas cuaca 

telah menghidupi berabad-abad: 

ada sepuluh raja kecil dan sepuluh juga permaisuri kecil 

karena kurang makan dan beras-beras dibawa ke hutan  

atau diceburkan ke lautan 

enam di antara mereka digantung Kompeni di hadapan  

kalayak ramai di sebuah lapangan terbuka di pusat kota 

sehingga kini hanya ada empat lagi di pantai  

saling melambaikan  

gelang kaki  

dari jalinan serat-serat kuini 

pucuk nipah dan akar mahoni 

dengan luka pada lipatan paha 

diteruskan rindu 

—yang menua: 

di bukit-bukit ini dulu tumbuh ladang kapas berbidang-bidang  

dan di hilirnya terhampar bertumpak-tumpak kolam garam  

milik nenekmoyang 

yang suka berperang 

tapi kejayaan, seperti asmara 

masa remaja, begitu cepat sirna 

ladang-ladang kapas di hulu  

telah meranggas dan kelabu 

kolam-kolam garam di hilirnya 

habis hanyut dipulun samudra. 

Fields of Cotton, Pools of Salt 

Valleys of cotton fields 

Pools of salt on the hilt 

towards the estuary 

the waves crash 

beneath the weather’s heat 

having given life for centuries: 

with ten small kings and ten small queens 

because of the famine and the rice that was brought to the forest 

or thrown into the ocean 

six of them hung by the Kompeni in front of 

the crowd on an open field at the town center 

there were four left on the shore 

waving 

their anklets 

from the woven fibers of the kuini trees 

the tip of the nipa palm tree and the roots of the mahogany 

a scar on the crevices of their thighs 

inherited by longing 

—which have aged: 

in these valleys a long time ago was a cotton field divided into plots 

and on the downstream there stretched pools of salt 

that the ancestors owned 

the warmongering types 

but glory, just like romance 

and youth, fades away 

the cotton fields on the hilt 

have withered and turned grey 

the pools of salt, in the estuary 

have drifted, taken by the ocean 

 

 

Siapa pembunuh Haji Mur? 

Mantan jaksa kelas 1, 

bekas demang dengan 3 bintang 

mati dengan luka tetak sedikit di atas telinga 

tak ada yang hilang dari brankas uang 

nun di Eropa 

kapal selam ke XVIII diteruskan ke laut dari galangan Feyenoord 

masa silam penuh ranjau hayalan bagai mimpi-mimpi tak sudah 

tapi di sini 

kereta api pertama dari Solok antara Sungailasi dan Silungkang 

tak dapat maju. Di muka tangsi Muara Kalaban berdiri omnibus 

semua rel terlepas sekerupnya 

tiga brigade serdadu dalam outo ditembaki 

kepala kantor pos dibunuh perusuh lagi 

300 tahil madat dalam perahu dempo 

dicegat ketika melintasi selat. 

Koman Dempet dan Jimun memanjat dinding penjara Durian. 

Sersan Limbung dari Manado akan digantung petang Selasa. 

Suman dari Limau Manis menyerang rumah laras di Ambacang. 

Ngadimin kepala perampok mati ditembak, mayatnya dibawa 

vrachouto memutari kampung supaya diketahui orang banyak. 

Haji Saman kepala pemimpin Kominis ditangkap di Omnenlan 

dibawa mobil tahanan dengan belenggu besi ke Binnenlan. 

Jamin & Jamil Rais Rahman Bakar dan lain-lain 

penyerang kantor telepon kawat dan wesel 

dipamerkan ini petang ke muka pewarta foto 

besok pagi mereka mau dieksekusi! 

Sialan, yang aku tanya hanya: 

"Siapa pembunuh Haji Mur?" 

Who killed Haji Mur? 

The former first class attorney, 

former three-star district head 

died with a slice wound slightly above his ear 

nothing went missing from the safe 

far in Europe 

the 18th submarine was launched to the ocean from the Feyenord shipyard 

the past is full of fantasy mines like dreams with no end 

but here 

the first train from Solok between Sungailasi and Silungkang 

will not move forward. In front of the Kalaban estuary barrack an omnibus waits 

every rail hasbeen unscrewed 

three soldier brigades inside their autos were shot 

the head of the post office was murdered by rioters 

300 bundles of opiates inside their boats 

were ambushed while crossing the strait 

Koman Dempet and Jimun climbed the Durian prison wall. 

Sergeant Limbung from Manado will be executed by hanging on Tuesday evening. 

Suman from Limau Manis attacked the barrel warehouse in Ambacang. 

Ngadimin, the head of gang of bandits was shot dead, his dead body carried 

by the vrachtauto around the neighborhood to let everyone know. 

Haji Saman, the leader of the Kominis was nabbed in Omnenlan 

taken by a prisoners’ car, bound with steel shackles, to Binnenlan. 

Jamin & Jamil Rais Rahman Bakar and the others 

the assailants of the phone and money order company 

were put on display before the photojournalists this evening 

they would be executed tomorrow morning! 

Damn, the only thing I could ask was: 

"Who killed Haji Mur?” 

 

Deddy Arsya writes poetry, short stories, film and book reviews and essay on history and art. His works have been published in national newspapers, magazines and journals. His poetry collections, Odong-odong Fort de Kock (2013) and Khotbah Si Bisu (2019) was selected as the Literary Book of The Year 2013 and 2019 by TEMPO Newsmagazine.

Thank you to Sebastian Partogi for translating Deddy’s poety.